Juru Bicara KPK Febri Diansyah bersyukur tidak ada drama yang ditunjukan mantan ketum Golkar itu dalam sidang kedua ini.
"Kita sama-sama bersyukur terdakwa dalam keadaan sehat berbeda sekali persidangan yang kedua dengan persidangan yang pertama," ujar dia di gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/12).
Mantan aktivis ICW ini mengatakan hal itu memberikan sinyal bagus tidak akan terjadi drama-drama yang dimainkan mantan ketua DPR itu dalam sidang-sidang berikutnya. Seperti drama sakit yang dipertontonkan dalam sidang perdananya.
"Semoga ini jadi sinyal baik sehingga proses persidangan ke depan akan berjalan dengan lebih baik tanpa harus ada kejadian-kejadian sakit pemeriksaan dokter lain sehingga fokusnya kepada pembuktian pokok perkara," imbuh dia.
Sementara itu, Febri mengatakan pihaknya akan mempersiapkan jawaban-jawaban untuk agenda persidangan mendatang. Dia mengatakan sebagian besar apa yang disampaikan dalam eksepsi hari ini tidak jauh beda dengan yang dipersoalkan sebelumnya.
"Kami sudah dengar eksepsi dan penuntut umum akan mempersiapkan jawaban selengkap mungkin yang akan disampaikan pada agenda persidangan Minggu depan," kata Febri.
Eksepsi atau sanggahan terhadap dakwaan jaksa dibacakan tim kuasa hukum Setnov yang dipimpin Maqdir Ismail. Salah satu poin yang menjadi pertanyaan adalah peran Setya Novanto pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Maqdir menilai, jaksa penuntut umum pada KPK tidak konsisten dalam mendakwa peran kliennya tersebut. Sebab, dari surat dakwaan milik tiga terdakwa pada kasus yang sama; Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, peran mantan Ketua Umum Partai Golkar itu berbeda-beda.
"Peran terdakwa dalam dakwaan Irman, Sugiharto, berperan mengarahkan perusahaan yang ikut serta dalam tender, dalam surat dakwaan Andi berperan mengatur dan memenangkan perusahaan yang ikut tender, dalam surat dakwaan Setya Novanto berperan melakukan intervensi," katanya saat membacakan nota eksepsi tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Perbedaan peran Setya Novanto pada proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun, dianggap Maqdir sebagai ketidakcermatan jaksa penuntut umum pada KPK dalam menyusun surat dakwaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Ayat 2 Huruf b KUHAP yang berbunyi, 'uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwa kan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan'.
"Uraian peran dalam ketiga surat terdakwa terdapat perbuatan materil yang berbeda, tidak sesuai surat dakwaan, sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP," ujar Maqdir.
Dalam kasus ini, JPU sebelumnya mendakwa Setnov telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Setya Novanto didakwa memperkaya diri sendiri sebesar USD 7.300.000 dan mendapat sebuah jam tangan mewah merek Richard Mille seharga Rp 1,3 miliar.
Pria yang kerap disapa Setnov tersebut didakwa oleh jaksa penuntut umum pada KPK dengan pasal 2 ayat 1 huruf a atau pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Saat dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan hal itu terjadi lantaran perbuatan yang dilakukan memang berbeda.
"Dakwaan yang digunakan untuk terdakwa SN tentulah dakwaan SN. Karena itulah yang akan dibuktikan nantinya. Karena perbuatan Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus berbeda dengan perbuatan SN," ujar Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (20/12).